Orang Gila Masuk dalam DPT Pemilu 2019, Ketua IDI Kota Cirebon: Kok Bisa Ya?
Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Kota Cirebon, dr M Edial Sanif, merasa aneh dengan PKPU Nomor 11 Tahun 2018.
Aturan itu menyebutkan setiap warga negara yang sudah berusia 17 tahun atau telah menikah, secara hukum berhak dipilih dan memilih.
Bahkan, termasuk orang yang mengalami gangguan mental atau penderita gangguan jiwa.
"Kok bisa ya? Padahal secara hukum penderita gangguan jiwa itu tidak bisa dihukum," kata M Edial Sanif melalui sambungan teleponnya, Rabu (28/11/2018).
Ia mengatakan, Pasal 44 KUHP juga menyebutkan seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana jika cacat kejiwaan atau terganggung karena penyakit.
Namun, Edial justru bertanya-tanya mengapa penderita gangguan jiwa masih mendapat hak politik untuk memilih dan dipilih.
Terlebih, jika penderita gangguan jiwa itu memberontak maka tenaganya bisa mencapai 2 - 3 orang dewasa.
Hal itu jelas membutuhkan pengawalan minimal 5 - 6 orang untuk setiap satu penderita gangguan jiwa.
"Enggak kebayang berapa jumlah petugas keamanan yang harus disiagakan jika penderita gangguan jiwa memilih di Pemilu 2019," ujar M Edial Sanif.
Ia mengatakan, di Kota Cirebon ada 134 penderita gangguan jiwa yang masuk daftar pemilih tetap (DPT) sehingga dibutuhkan sedikitnya 670 petugas keamanan.
Selain itu, menurut dia, penderita gangguan jiwa yang membuat kerusuhan itupun tidak bisa dihukum.
"Kalau se-Indonesia jelas jauh lebih banyak lagi, nantinya pengamanan terforsir di situ," kata M Edial Sanif.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Cirebon sendiri mendata jumlah penderita gangguan jiwa untuk Pemilu 17 April 2019 sedikitnya mencapai 134 orang.
Jumlah tersebut tersebar secara merata di lima kecamatan Kota Cirebon.
Di antaranya, Kecamatan Kejaksan 20 orang, Kecamatan Lemahwungkuk 31 orang, Kecamatam Harjamukti 31 orang, Kecamatan Pekalipan 31 orang, dan Kecamatan Kesambi 21 orang.[TJ]
Aturan itu menyebutkan setiap warga negara yang sudah berusia 17 tahun atau telah menikah, secara hukum berhak dipilih dan memilih.
Bahkan, termasuk orang yang mengalami gangguan mental atau penderita gangguan jiwa.
"Kok bisa ya? Padahal secara hukum penderita gangguan jiwa itu tidak bisa dihukum," kata M Edial Sanif melalui sambungan teleponnya, Rabu (28/11/2018).
Ia mengatakan, Pasal 44 KUHP juga menyebutkan seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana jika cacat kejiwaan atau terganggung karena penyakit.
Namun, Edial justru bertanya-tanya mengapa penderita gangguan jiwa masih mendapat hak politik untuk memilih dan dipilih.
Terlebih, jika penderita gangguan jiwa itu memberontak maka tenaganya bisa mencapai 2 - 3 orang dewasa.
Hal itu jelas membutuhkan pengawalan minimal 5 - 6 orang untuk setiap satu penderita gangguan jiwa.
"Enggak kebayang berapa jumlah petugas keamanan yang harus disiagakan jika penderita gangguan jiwa memilih di Pemilu 2019," ujar M Edial Sanif.
Ia mengatakan, di Kota Cirebon ada 134 penderita gangguan jiwa yang masuk daftar pemilih tetap (DPT) sehingga dibutuhkan sedikitnya 670 petugas keamanan.
Selain itu, menurut dia, penderita gangguan jiwa yang membuat kerusuhan itupun tidak bisa dihukum.
"Kalau se-Indonesia jelas jauh lebih banyak lagi, nantinya pengamanan terforsir di situ," kata M Edial Sanif.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Cirebon sendiri mendata jumlah penderita gangguan jiwa untuk Pemilu 17 April 2019 sedikitnya mencapai 134 orang.
Jumlah tersebut tersebar secara merata di lima kecamatan Kota Cirebon.
Di antaranya, Kecamatan Kejaksan 20 orang, Kecamatan Lemahwungkuk 31 orang, Kecamatam Harjamukti 31 orang, Kecamatan Pekalipan 31 orang, dan Kecamatan Kesambi 21 orang.[TJ]