Jangan Diucap Sembarangan, Ini Kisah Kelam di Balik Panggilan Populer Khas Cirebon
Bermula dari sosok sejarah yang kontroversial, nama salah satu binatang bertransformasi dari umpatan menjadi panggilan terpopuler di Cirebon: (maaf) Kirik.
Sssttt, sekedar mengingatkan, panggilan ini tak boleh sembarangan diucapkan ya!
Kirik (sekali lagi, maaf) dalam bahasa Cirebon berarti Anjing. Menggunakan pendekatan budaya, yuk simak awal mula kata ini digunakan dulu hingga menjadi panggilan populer di Cirebon pada masa sekarang.
Menurut Ketua Lembaga Basa Lan Sastra Cerbon yang juga dikenal sebagai budayawan Cirebon, Nurdin M. Noer, penggunaan kata "Kirik" dapat dirunut dari kehadiran salah satu tokoh agama Islam di Kerajaan Cirebon pada sekitar 1450 bernama Syekh Lemahabang atau Syekh Siti Jenar pada masa awal Islam di Cirebon.
Syekh satu ini dikenal sebagai sosok yang kontroversial, terutama karena pemikiran "Manunggaling Kawula Gusti" yang berarti menyatunya hamba (makhluk Tuhan) dengan Tuhan. Syekh Siti Jenar sendiri diketahui berguru kepada seorang ulama Syiah di Irak, Al Halajj.
"Menurut manuskrip Caruban Nagari karya Pangeran Wangsakerta yang ditulis pada 1970, pemikiran Syekh Siti Jenar soal menyatunya hamba dengan Tuhan dinilai banyak kalangan tidak tepat karena Tuhan itu tidak manunggal," ungkap Nurdin kepada Ayocirebon.com, Rabu (12/6/2019).
Secara konotatif, imbuh Nurdin, penyatuan makhluk Tuhan dengan Tuhan di antaranya kala mengucapkan takbir. Namun, karena pemikiran Islam ketika itu belum berkembang, jadilah pemikiran Syekh Siti Jenar dinilai tak sesuai syariat Islam dan sesat.
Di sisi lain, terungkap pula ambisi Syekh Siti Jenar yang ingin menguasai Kerajaan Cirebon juga Kerajaan Demak. Mempertimbangkan pemikirannya yang dinilai tak sesuai syariat Islam, ditambah spekulasi kudeta yang mungkin dilakukannya, Syekh Siti Jenar pun ditangkap pasukan Kerajaan Cirebon maupun Demak.
"Perintah penangkapan dikeluarkan Sunan Gunung Jati yang ketika itu memimpin Kerajaan Cirebon dan Wali Songo lainnya," cetusnya.
Syekh Siti Jenar ditangkap di Cirebon Girang (sekarang secara administratif masuk Kecamatan Talun, Kabupaten Cirebon). Proses peradilan agung terhadap Syekh Siti Jenar selanjutnya dilaksanakan di Masjid Agung Sang Cipta Rasa (tak jauh dari Keraton Kasepuhan Cirebon sekarang).
Dalam peradilan itu, Sunan Gunung Jati bertindak sebagai Hakim dan Sunan Kudus bertindak sebagai Jaksa. Meski dinilai sesat, Syekh Siti Jenar tetap pada pemikirannya.
Dengan pertimbangan ajaran sesat serta ambisi atas kekuasaan, dia pun dijatuhi hukuman mati. Sanksi yang diberikan berupa penikaman keris ke tubuh Syekh Siti Jenar.
"Eksekutornya Sunan Kudus, yang menikam Syekh Siti Jenar dengan Keris Kaki Kantanaga," ujar Nurdin.
Setelah dipastikan tewas, jenazah Syekh Siti Jenar kemudian dimakamkan di Kemlaten (saat ini secara administratif termasuk Kecamatan Harjamukti, Kota Cirebon). Warisan Syekh Siti Jenar berupa para pengikutnya yang tak sedikit dan masih memujanya.
Sepeninggal Syekh Siti Jenar, para pengikutnya pun memuja makamnya di Kemlaten. Fenomena itu pun mengundang larangan dari Wali Songo yang mengingatkan, hanya Allah SWT yang harus dipuja.
Meski begitu, larangan itu rupanya tak diindahkan sehingga memaksa para wali membongkar makam Syekh Siti Jenar. Jenazahnya kemudian dipindahkan ke Giri Amparan Jati (saat ini Astana Gunung Jati atau komplek pemakaman Gunung Jati di Kabupaten Cirebon).
"Para wali mengganti jenazah Syekh Siti Jenar di makam Kemlaten dengan bangkai seekor cemani ireng atau anjing hitam," ungkapnya.
Dengan makam berisi bangkai anjing hitam, Sunan Gunung Jati, Sunan Kudus,serta Sunan Kalijaga, mewakili Wali Songo, membongkar makam Kemlaten demi menunjukkan isinya kepada para pengikut Syekh Siti Jenar.
Kepada mereka, Wali Songo menyampaikan peringatan apa yang telah dipuja selama ini dan apa yang terjadi kepada pengkhianat. Dalam hal ini, Syekh Siti Jenar dianggap sebagai pengkhianat agama dan negara.
"Kemudian, atas usul para wali pula, jenazah Syekh Siti Jenar kembali dipindahkan dari Giri Amparan Jati ke Pengging di Jawa Tengah," sambungnya.
Merujuk pada cemani ireng atau dalam bahasa jawa Cirebon halus disebut segawon, kata kirik yang juga berarti anjing pun digunakan masyarakat Cirebon. Kirik awalnya digunakan sebagai umpatan untuk merendahkan orang lain.
Namun belakangan, menurut Nurdin, telah terjadi pergeseran makna konotatif. Penggunaannya tak lagi sebatas sebagai umpatan terhadap orang, melainkan pula situasi.
"Saat dihadapkan pada situasi yang sulit atau tak menyenangkan, orang Cirebon kini mengumpat dengan kata itu," paparnya.
Bahkan, pergeseran penggunaannya tak berhenti pada situasi saja. Kata Kirik kini lazim pula digunakan sebagai semacam penegasan dalam setiap kalimat pada suatu percakapan.
Hanya, dia mengingatkan, kata Kirik tak boleh sembarangan diucapkan. Kata ini juga tak elok digunakan oleh perempuan.
"Di luar sebagai umpatan, kata Kirik juga kini biasanya diucapkan hanya kepada teman sebaya dalam suasana yang akrab. Kepada yang lebih tua, juga perempuan, lingkungan formal, tak boleh mengucapkan kata ini," tegasnya.(erika lia)
Kata ini merupakan 'panggilan' keakraban yang populer di Cirebon. Tak elok diucapkan sembarangan, kata ini punya kisah kelam di baliknya.[AyoCirebon]
Sssttt, sekedar mengingatkan, panggilan ini tak boleh sembarangan diucapkan ya!
Kirik (sekali lagi, maaf) dalam bahasa Cirebon berarti Anjing. Menggunakan pendekatan budaya, yuk simak awal mula kata ini digunakan dulu hingga menjadi panggilan populer di Cirebon pada masa sekarang.
Menurut Ketua Lembaga Basa Lan Sastra Cerbon yang juga dikenal sebagai budayawan Cirebon, Nurdin M. Noer, penggunaan kata "Kirik" dapat dirunut dari kehadiran salah satu tokoh agama Islam di Kerajaan Cirebon pada sekitar 1450 bernama Syekh Lemahabang atau Syekh Siti Jenar pada masa awal Islam di Cirebon.
Syekh satu ini dikenal sebagai sosok yang kontroversial, terutama karena pemikiran "Manunggaling Kawula Gusti" yang berarti menyatunya hamba (makhluk Tuhan) dengan Tuhan. Syekh Siti Jenar sendiri diketahui berguru kepada seorang ulama Syiah di Irak, Al Halajj.
"Menurut manuskrip Caruban Nagari karya Pangeran Wangsakerta yang ditulis pada 1970, pemikiran Syekh Siti Jenar soal menyatunya hamba dengan Tuhan dinilai banyak kalangan tidak tepat karena Tuhan itu tidak manunggal," ungkap Nurdin kepada Ayocirebon.com, Rabu (12/6/2019).
Secara konotatif, imbuh Nurdin, penyatuan makhluk Tuhan dengan Tuhan di antaranya kala mengucapkan takbir. Namun, karena pemikiran Islam ketika itu belum berkembang, jadilah pemikiran Syekh Siti Jenar dinilai tak sesuai syariat Islam dan sesat.
Di sisi lain, terungkap pula ambisi Syekh Siti Jenar yang ingin menguasai Kerajaan Cirebon juga Kerajaan Demak. Mempertimbangkan pemikirannya yang dinilai tak sesuai syariat Islam, ditambah spekulasi kudeta yang mungkin dilakukannya, Syekh Siti Jenar pun ditangkap pasukan Kerajaan Cirebon maupun Demak.
"Perintah penangkapan dikeluarkan Sunan Gunung Jati yang ketika itu memimpin Kerajaan Cirebon dan Wali Songo lainnya," cetusnya.
Syekh Siti Jenar ditangkap di Cirebon Girang (sekarang secara administratif masuk Kecamatan Talun, Kabupaten Cirebon). Proses peradilan agung terhadap Syekh Siti Jenar selanjutnya dilaksanakan di Masjid Agung Sang Cipta Rasa (tak jauh dari Keraton Kasepuhan Cirebon sekarang).
Dalam peradilan itu, Sunan Gunung Jati bertindak sebagai Hakim dan Sunan Kudus bertindak sebagai Jaksa. Meski dinilai sesat, Syekh Siti Jenar tetap pada pemikirannya.
Dengan pertimbangan ajaran sesat serta ambisi atas kekuasaan, dia pun dijatuhi hukuman mati. Sanksi yang diberikan berupa penikaman keris ke tubuh Syekh Siti Jenar.
"Eksekutornya Sunan Kudus, yang menikam Syekh Siti Jenar dengan Keris Kaki Kantanaga," ujar Nurdin.
Setelah dipastikan tewas, jenazah Syekh Siti Jenar kemudian dimakamkan di Kemlaten (saat ini secara administratif termasuk Kecamatan Harjamukti, Kota Cirebon). Warisan Syekh Siti Jenar berupa para pengikutnya yang tak sedikit dan masih memujanya.
Sepeninggal Syekh Siti Jenar, para pengikutnya pun memuja makamnya di Kemlaten. Fenomena itu pun mengundang larangan dari Wali Songo yang mengingatkan, hanya Allah SWT yang harus dipuja.
Meski begitu, larangan itu rupanya tak diindahkan sehingga memaksa para wali membongkar makam Syekh Siti Jenar. Jenazahnya kemudian dipindahkan ke Giri Amparan Jati (saat ini Astana Gunung Jati atau komplek pemakaman Gunung Jati di Kabupaten Cirebon).
"Para wali mengganti jenazah Syekh Siti Jenar di makam Kemlaten dengan bangkai seekor cemani ireng atau anjing hitam," ungkapnya.
Dengan makam berisi bangkai anjing hitam, Sunan Gunung Jati, Sunan Kudus,serta Sunan Kalijaga, mewakili Wali Songo, membongkar makam Kemlaten demi menunjukkan isinya kepada para pengikut Syekh Siti Jenar.
Kepada mereka, Wali Songo menyampaikan peringatan apa yang telah dipuja selama ini dan apa yang terjadi kepada pengkhianat. Dalam hal ini, Syekh Siti Jenar dianggap sebagai pengkhianat agama dan negara.
"Kemudian, atas usul para wali pula, jenazah Syekh Siti Jenar kembali dipindahkan dari Giri Amparan Jati ke Pengging di Jawa Tengah," sambungnya.
Merujuk pada cemani ireng atau dalam bahasa jawa Cirebon halus disebut segawon, kata kirik yang juga berarti anjing pun digunakan masyarakat Cirebon. Kirik awalnya digunakan sebagai umpatan untuk merendahkan orang lain.
Namun belakangan, menurut Nurdin, telah terjadi pergeseran makna konotatif. Penggunaannya tak lagi sebatas sebagai umpatan terhadap orang, melainkan pula situasi.
"Saat dihadapkan pada situasi yang sulit atau tak menyenangkan, orang Cirebon kini mengumpat dengan kata itu," paparnya.
Bahkan, pergeseran penggunaannya tak berhenti pada situasi saja. Kata Kirik kini lazim pula digunakan sebagai semacam penegasan dalam setiap kalimat pada suatu percakapan.
Hanya, dia mengingatkan, kata Kirik tak boleh sembarangan diucapkan. Kata ini juga tak elok digunakan oleh perempuan.
"Di luar sebagai umpatan, kata Kirik juga kini biasanya diucapkan hanya kepada teman sebaya dalam suasana yang akrab. Kepada yang lebih tua, juga perempuan, lingkungan formal, tak boleh mengucapkan kata ini," tegasnya.(erika lia)
Kata ini merupakan 'panggilan' keakraban yang populer di Cirebon. Tak elok diucapkan sembarangan, kata ini punya kisah kelam di baliknya.[AyoCirebon]