Kecap Cap Matahari, Pelengkap Kuliner Khas Cirebon Paling Dicari
Berawal dari sebuah gerobak keliling yang dijajakan ke setiap orang, Kecap Cap Matahari kini menjadi pelengkap kuliner khas Cirebon yang legendaris.
Penjual nasi lengko, salah satu makanan tradisional Cirebon, diklaim sebagai 'penggemar' setia kecap ini. Mewujud menjadi sebuah pabrik di Jalan Pagongan, Kelurahan Pekalangan, Kecamatan Pekalipan, Kota Cirebon, produksi Kecap Cap Matahari masih mempertahankan prosesnya yang tradisional.
Di atas sejumlah bak dengan kayu bakar sebagai bahan bakarnya, produksi kecap telah dimulai sejak sekitar 1965. Proses produksinya yang tradisional dilakukan sejak pengolahan kedelai hitam hingga memasukkan kecap ke dalam botol.
"Pemasangan logo merk pada botol juga manual," kata generasi kedua penerus usaha Kecap Cap Matahari, Otong.
Sedikitnya 1.000 botol kecap kini diproduksi dari pabrik ini. Otong mengaku, bahan-bahan yang digunakan dalam proses produksi kecap diperoleh dari pedagang se-pantura Cirebon.
Dibutuhkan sekitar 70 kilogram kedelai untuk sekali produksi yang memakan waktu tujuh jam, mulai pukul 08.00 WIB sampai 15.00 WIB. Dalam prosesnya, kedelai itu ditambahkan gula merah dan garam.
Namun, sebelum itu, kedelai hitam harus lebih dulu melalui proses perendaman selama sepekan. Kedelai hasil fermentasi itu selanjutnya disaring untuk memisahkan kacang dan airnya.
"Air dari kedelai hitam itu kemudian dicampur air bersih dan air gula merah, diaduk sampai gula mencair selama tiga jam," tuturnya.
Campuran itu selanjutnya diberi bumbu dan garam untuk diolah kedua kalinya. Selama sekitar tiga jam berikutnya, bahan-bahan itu diolah hingga mengental menjadi kecap, sebelum kemudian dikemas dalam botol-botol.
Bila air kedelai kemudian menjadi kecap, kedelai hitam hasil fermentasi rupanya tak terbuang sia-sia. Otong menyebut, kedelai hasil fermentasi bisa dijual lagi untuk olahan makanan bernama tauco.
Proses produksi berpotensi terhambat kala hujan turun. Mengingat pengolahan kecap mengandalkan kayu bakar, kondisi kayu yang tak cukup kering saat hujan turun, memengaruhi keseluruhan prosesnya.
"Paling terhambat satu jam karena kayu bakar biasanya kurang kering saat hujan," cetusnya.
Otong meyakinkan, tak ada bahan kimia yang dilibatkan dalam proses pengolahan kecap yang pertama kali dirintis pertama kali oleh Dipa Cahya ini. Namun begitu, daya tahan kecap ini mencapai satu bulan.
Pihaknya sengaja mempertahankan proses pengolahannya yang tradisional dengan alasan menjaga cita rasa khas dan mutu kecap. Terbukti, katanya, kecap ini tetap digemari konsumen.
"Terutama pedagang nasi lengko, katanya kecap ini berpengaruh ke rasa," ungkapnya.
Untuk satu botol kecap, pihaknya menjual Rp17 ribu/botol. Konsumen bisa memperoleh harga lebih murah bila menukarkan botol atau mengisi ulang kecap dengan harga Rp15.500/botol.
Meski banyak digemari, distribusi Kecap Cap Matahari sebatas di Cirebon saja. Kalaupun ada di daerah tetangga seperti Indramayu, Majalengka, dan Kuningan, jumlahnya tak sebanyak yang dijul di Cirebon karena diketahui setiap daerah memiliki kecap andalan masing-masing.(AyoCirebon)
Penjual nasi lengko, salah satu makanan tradisional Cirebon, diklaim sebagai 'penggemar' setia kecap ini. Mewujud menjadi sebuah pabrik di Jalan Pagongan, Kelurahan Pekalangan, Kecamatan Pekalipan, Kota Cirebon, produksi Kecap Cap Matahari masih mempertahankan prosesnya yang tradisional.
Di atas sejumlah bak dengan kayu bakar sebagai bahan bakarnya, produksi kecap telah dimulai sejak sekitar 1965. Proses produksinya yang tradisional dilakukan sejak pengolahan kedelai hitam hingga memasukkan kecap ke dalam botol.
"Pemasangan logo merk pada botol juga manual," kata generasi kedua penerus usaha Kecap Cap Matahari, Otong.
Sedikitnya 1.000 botol kecap kini diproduksi dari pabrik ini. Otong mengaku, bahan-bahan yang digunakan dalam proses produksi kecap diperoleh dari pedagang se-pantura Cirebon.
Dibutuhkan sekitar 70 kilogram kedelai untuk sekali produksi yang memakan waktu tujuh jam, mulai pukul 08.00 WIB sampai 15.00 WIB. Dalam prosesnya, kedelai itu ditambahkan gula merah dan garam.
Namun, sebelum itu, kedelai hitam harus lebih dulu melalui proses perendaman selama sepekan. Kedelai hasil fermentasi itu selanjutnya disaring untuk memisahkan kacang dan airnya.
"Air dari kedelai hitam itu kemudian dicampur air bersih dan air gula merah, diaduk sampai gula mencair selama tiga jam," tuturnya.
Campuran itu selanjutnya diberi bumbu dan garam untuk diolah kedua kalinya. Selama sekitar tiga jam berikutnya, bahan-bahan itu diolah hingga mengental menjadi kecap, sebelum kemudian dikemas dalam botol-botol.
Bila air kedelai kemudian menjadi kecap, kedelai hitam hasil fermentasi rupanya tak terbuang sia-sia. Otong menyebut, kedelai hasil fermentasi bisa dijual lagi untuk olahan makanan bernama tauco.
Proses produksi berpotensi terhambat kala hujan turun. Mengingat pengolahan kecap mengandalkan kayu bakar, kondisi kayu yang tak cukup kering saat hujan turun, memengaruhi keseluruhan prosesnya.
"Paling terhambat satu jam karena kayu bakar biasanya kurang kering saat hujan," cetusnya.
Otong meyakinkan, tak ada bahan kimia yang dilibatkan dalam proses pengolahan kecap yang pertama kali dirintis pertama kali oleh Dipa Cahya ini. Namun begitu, daya tahan kecap ini mencapai satu bulan.
Pihaknya sengaja mempertahankan proses pengolahannya yang tradisional dengan alasan menjaga cita rasa khas dan mutu kecap. Terbukti, katanya, kecap ini tetap digemari konsumen.
"Terutama pedagang nasi lengko, katanya kecap ini berpengaruh ke rasa," ungkapnya.
Untuk satu botol kecap, pihaknya menjual Rp17 ribu/botol. Konsumen bisa memperoleh harga lebih murah bila menukarkan botol atau mengisi ulang kecap dengan harga Rp15.500/botol.
Meski banyak digemari, distribusi Kecap Cap Matahari sebatas di Cirebon saja. Kalaupun ada di daerah tetangga seperti Indramayu, Majalengka, dan Kuningan, jumlahnya tak sebanyak yang dijul di Cirebon karena diketahui setiap daerah memiliki kecap andalan masing-masing.(AyoCirebon)