Kisah Bos Jangkrik Asal Cirebon Kantongi Omzet Ratusan Juta Perbulan
Bambang Setiawan (31) terbilang sukses menjadi pengusaha muda. Bisnis yang ditekuni pria asal Desa Bakung, Kecamatan Jamblang, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, terbilang unik. Bambang memilih berbisnis sebagai pembudidaya jangkrik.
Serangga yang berkerabat dekat dengan belalang itu mampu mengangkat ekonomi Bambang dan masyarakat di desanya. Tahun ini, tahun kedelapan Bambang menjadi pengusaha jangkrik.
"Tahun 2010 saya memulai budidaya jangkrik. Modal awalnya itu cuma 2,5 kilogram (kg) jangkrik, setara dengan 50 kandang jangkrik berukuran 120x60x60 meter," ucap Bambang saat ditemui detikFinance di kediamannya, Senin (17/12/2018).
Bambang jatuh bangun menekuni bisnisnya di tahun pertama. Bambang merugi, karena jangkrik hasil budi daya tak laku dijual.
Namun ia tak patah semangat. Bambang menjual 50 kandang jangkriknya itu demi mendapatkan modal baru.
"Saya jual ke orang. Saya kerja sama dengan orang itu, dia yang budidaya dan saya fokus ke pemasarannya," kata pria lulusan ITB itu.
Kota Bandung menjadi sasaran utama pemasaran Bambang pada tahun pertama ia memulai bisnisnya. Bambang mengaku memiliki banyak relasi di Bandung dibandingkan di daerah kelahirannya. Selain itu, sebelum memulai bisnis jangkrik, Bambang mengaku sempat menekuni bisnis katering di Bandung.
"Karena saya kuliah di sana (Bandung), sempat berbisnis di sana juga. Saat itu pemasaran sudah berjalan, tapi fokus memperkuat relasi. Secara untung memang belum dapat itu sampai dua tahun pertama," ucapnya.
Hasil budi daya Jangkrik saat itu melimpah. Namun Bambang tetap mengelus dada, lantaran belum stabilnya pasar. Jangkrik hasil budidaya kerap tak terjual. Bahkan, sempat menumpuk di kediamannya.
"Karena saking banyaknya yang tidak terjual, sampai keluar karung. Rumah dipenuhi Jangkrik. Istri dan anak saya jadi risih," kata Bambang seraya tersenyum.
Pada tahun pertama dan kedua itu, Bambang mengaku penjualan jangkriknya hanya satu sampai dua kuintal per minggu. Kondisi tersebut, diakui Bambang, tak menutup biaya produksi.
Kendati demikian, Bambang tetap yakin, jangkrik bisa membuat ekonominya dan warga sekitarnya menjadi lebih baik. Bambang tak menyerah. Setelah dirundung kerugian selama dua tahun. Bambang terus mencoba.
"Akhirnya, di tahun 2012 hingga 2016 pasar mulai berkembang pesat. Penjualannya satu sampai dua kuintal per hari, kalau tahun sebelumnya itu per minggu nah sekarang sudah per hari. Permintaan jangkrik mulai banyak, ada dari Bandung, Cirebon, Kuningan, dan sekitarnya," ucapnya.
Awalnya Bambang hanya membina 10 pembudidaya jangkrik. Saat ini jumlah pembudidaya jangkrik di lingkungan sekitarnya terus bertambah. Saat ini Bambang memiliki 100 pembudidaya jangkrik.
"Per hari itu rata-rata dua kuintal. Saya suplai ke kota-kota besar, makin besar kotanya, makin besar kebutuhan jangkrik. Jakarta itu bisa sampai lima ton, kalau Bandung tiga ton, Cirebon paling satu ton per bulannya," ucapnya.
Bambang menyebutkan saat ini harga satu kg jangkrik Rp 40.000. Jika rata-rata penjualan jangkriknya dua kuintal per hari, maka omzet Bambang per harinya mencapai Rp 8 juta. Senyum Bambang pun mengembang saat ditanya mengenai omzet.
"Ya sekarang bisa Rp 200 juta hingga Rp 300 juta per bulannya, itu omzet ya. Itu sudah termasuk penjualan telur jangkrik dan makanan olahan berbahan jangkrik," kata Bambang.
Bambang menyebutkan harga telur jangkrik Rp 300.000 per kilogramnya. Usai berbincang tentang kemajuan bisnis budidaya jangkriknya, Bambang pun bercerita tentang alasannya memilih jangkrik sebagai media usahanya.
Bambang mengatakan jangkrik terbilang gampang untuk dibudidaya. Terlebih lagi, diakui Bambang, melejitnya bisnis ternak burung menjadi alasannya.
"Jangkrik ini tidak memiliki efek sosial, tidak berbau seperti ayam atau bebek, membutuhkan tempat yang tidak terlalu besar, lebih ramah lingkungan. Kemudian kebutuhan produksi, seperti makan dan minumnya itu tak terlalu besar," katanya.
Salah seorang pembudidaya jangkrik binaan Bambang, Sutiah (33) mengaku bersyukur bisa bermitra dengan Trust Jaya Jangkrik, perusahaan yang dikelola Bambang. Sutiah mengaku menjadi pembudidaya jangkrik sejak Bambang memulai bisnisnya.
"Awal Bambang bisnis. Awalnya modal satu kilogram jangkrik, setara dengan 15 kandang. Sekarang sudah 100 kandang," kata Sutiah seraya tersenyum saat berbincang dengan detikFinance di kediamannya di Desa Bakung, Kecamatan Jamblang, Kabupaten Cirebon.
Sutiah menuturkan per bulannya ia mampu memanen empat kuintal jangkrik. Sistem panennya menggunakan sistem rolling.
"Setiap hari panen, ya digilir. Rata-ratanya itu per bulan empat kuintalan. Ya bersihnya bisa Rp 3 jutaan lebih penghasilannya. Alhamdulillah," kata Sutiah.
Sutiah mengaku jangkrik membuat perekonomian keluarganya membaik. Sebelum menjadi pembudidaya jangkrik, suami Sutiah, Rano (41) sempat melancong ke luar negeri menjadi TKI.
"Pulang dari luar negeri langsung ikut bisnis sama Bambang. Uang dari TKI jadi modal," katanya.
Membuat Makanan Olahan Jangkrik
Bambang rupanya terus berinovasi dengan bisnis yang suda ia tekuni selama delapan tahun itu. Setelah sukses menyuplai jangkrik sebagai pakan burung, kini Bambang mencoba peruntungan untuk berbisnis makanan olahan dari jangkrik.
"Dua tahun lalu sudah saya mulai membuat makanan olahan dari jangkrik. Karena, jangkrik itu memiliki protein yang tinggi dibandingkan dengan daging sapi," ucap Bambang.
Bambang menyebutkan makanan olahan berbahan jangkrik yang ia produksi itu seperti sosis jangkrik, keripik jangkrik, kue jangkrik, dan lainnya.
"Sudah terdaftar di BPOM. Tenang, jangkrik halal kok. Produk kami sudah mendapat fatwa halal dari MUI," ucapnya.
Pola penjualan produknya itu masih mengandalkan sistem jual beli online. Bambang mengaku produknya itu mulai dilirik pasar luar negeri. Karena, menurut Bambang, jangkrik menjadi protein inovatif, sebagai pengganti daging sapi dan ikan.
"Gizinya dua kali gizi ikan, dua kali kandungan protein daging sapi, asam aminonya tinggi. Sekarang yang paling favorit sosis jangkrik," katanya.[DET]
Serangga yang berkerabat dekat dengan belalang itu mampu mengangkat ekonomi Bambang dan masyarakat di desanya. Tahun ini, tahun kedelapan Bambang menjadi pengusaha jangkrik.
"Tahun 2010 saya memulai budidaya jangkrik. Modal awalnya itu cuma 2,5 kilogram (kg) jangkrik, setara dengan 50 kandang jangkrik berukuran 120x60x60 meter," ucap Bambang saat ditemui detikFinance di kediamannya, Senin (17/12/2018).
Bambang jatuh bangun menekuni bisnisnya di tahun pertama. Bambang merugi, karena jangkrik hasil budi daya tak laku dijual.
Namun ia tak patah semangat. Bambang menjual 50 kandang jangkriknya itu demi mendapatkan modal baru.
"Saya jual ke orang. Saya kerja sama dengan orang itu, dia yang budidaya dan saya fokus ke pemasarannya," kata pria lulusan ITB itu.
Kota Bandung menjadi sasaran utama pemasaran Bambang pada tahun pertama ia memulai bisnisnya. Bambang mengaku memiliki banyak relasi di Bandung dibandingkan di daerah kelahirannya. Selain itu, sebelum memulai bisnis jangkrik, Bambang mengaku sempat menekuni bisnis katering di Bandung.
"Karena saya kuliah di sana (Bandung), sempat berbisnis di sana juga. Saat itu pemasaran sudah berjalan, tapi fokus memperkuat relasi. Secara untung memang belum dapat itu sampai dua tahun pertama," ucapnya.
Hasil budi daya Jangkrik saat itu melimpah. Namun Bambang tetap mengelus dada, lantaran belum stabilnya pasar. Jangkrik hasil budidaya kerap tak terjual. Bahkan, sempat menumpuk di kediamannya.
"Karena saking banyaknya yang tidak terjual, sampai keluar karung. Rumah dipenuhi Jangkrik. Istri dan anak saya jadi risih," kata Bambang seraya tersenyum.
Pada tahun pertama dan kedua itu, Bambang mengaku penjualan jangkriknya hanya satu sampai dua kuintal per minggu. Kondisi tersebut, diakui Bambang, tak menutup biaya produksi.
Kendati demikian, Bambang tetap yakin, jangkrik bisa membuat ekonominya dan warga sekitarnya menjadi lebih baik. Bambang tak menyerah. Setelah dirundung kerugian selama dua tahun. Bambang terus mencoba.
"Akhirnya, di tahun 2012 hingga 2016 pasar mulai berkembang pesat. Penjualannya satu sampai dua kuintal per hari, kalau tahun sebelumnya itu per minggu nah sekarang sudah per hari. Permintaan jangkrik mulai banyak, ada dari Bandung, Cirebon, Kuningan, dan sekitarnya," ucapnya.
Awalnya Bambang hanya membina 10 pembudidaya jangkrik. Saat ini jumlah pembudidaya jangkrik di lingkungan sekitarnya terus bertambah. Saat ini Bambang memiliki 100 pembudidaya jangkrik.
"Per hari itu rata-rata dua kuintal. Saya suplai ke kota-kota besar, makin besar kotanya, makin besar kebutuhan jangkrik. Jakarta itu bisa sampai lima ton, kalau Bandung tiga ton, Cirebon paling satu ton per bulannya," ucapnya.
Bambang menyebutkan saat ini harga satu kg jangkrik Rp 40.000. Jika rata-rata penjualan jangkriknya dua kuintal per hari, maka omzet Bambang per harinya mencapai Rp 8 juta. Senyum Bambang pun mengembang saat ditanya mengenai omzet.
"Ya sekarang bisa Rp 200 juta hingga Rp 300 juta per bulannya, itu omzet ya. Itu sudah termasuk penjualan telur jangkrik dan makanan olahan berbahan jangkrik," kata Bambang.
Bambang menyebutkan harga telur jangkrik Rp 300.000 per kilogramnya. Usai berbincang tentang kemajuan bisnis budidaya jangkriknya, Bambang pun bercerita tentang alasannya memilih jangkrik sebagai media usahanya.
Bambang mengatakan jangkrik terbilang gampang untuk dibudidaya. Terlebih lagi, diakui Bambang, melejitnya bisnis ternak burung menjadi alasannya.
"Jangkrik ini tidak memiliki efek sosial, tidak berbau seperti ayam atau bebek, membutuhkan tempat yang tidak terlalu besar, lebih ramah lingkungan. Kemudian kebutuhan produksi, seperti makan dan minumnya itu tak terlalu besar," katanya.
Salah seorang pembudidaya jangkrik binaan Bambang, Sutiah (33) mengaku bersyukur bisa bermitra dengan Trust Jaya Jangkrik, perusahaan yang dikelola Bambang. Sutiah mengaku menjadi pembudidaya jangkrik sejak Bambang memulai bisnisnya.
"Awal Bambang bisnis. Awalnya modal satu kilogram jangkrik, setara dengan 15 kandang. Sekarang sudah 100 kandang," kata Sutiah seraya tersenyum saat berbincang dengan detikFinance di kediamannya di Desa Bakung, Kecamatan Jamblang, Kabupaten Cirebon.
Sutiah menuturkan per bulannya ia mampu memanen empat kuintal jangkrik. Sistem panennya menggunakan sistem rolling.
"Setiap hari panen, ya digilir. Rata-ratanya itu per bulan empat kuintalan. Ya bersihnya bisa Rp 3 jutaan lebih penghasilannya. Alhamdulillah," kata Sutiah.
Sutiah mengaku jangkrik membuat perekonomian keluarganya membaik. Sebelum menjadi pembudidaya jangkrik, suami Sutiah, Rano (41) sempat melancong ke luar negeri menjadi TKI.
"Pulang dari luar negeri langsung ikut bisnis sama Bambang. Uang dari TKI jadi modal," katanya.
Membuat Makanan Olahan Jangkrik
Bambang rupanya terus berinovasi dengan bisnis yang suda ia tekuni selama delapan tahun itu. Setelah sukses menyuplai jangkrik sebagai pakan burung, kini Bambang mencoba peruntungan untuk berbisnis makanan olahan dari jangkrik.
"Dua tahun lalu sudah saya mulai membuat makanan olahan dari jangkrik. Karena, jangkrik itu memiliki protein yang tinggi dibandingkan dengan daging sapi," ucap Bambang.
Bambang menyebutkan makanan olahan berbahan jangkrik yang ia produksi itu seperti sosis jangkrik, keripik jangkrik, kue jangkrik, dan lainnya.
"Sudah terdaftar di BPOM. Tenang, jangkrik halal kok. Produk kami sudah mendapat fatwa halal dari MUI," ucapnya.
Pola penjualan produknya itu masih mengandalkan sistem jual beli online. Bambang mengaku produknya itu mulai dilirik pasar luar negeri. Karena, menurut Bambang, jangkrik menjadi protein inovatif, sebagai pengganti daging sapi dan ikan.
"Gizinya dua kali gizi ikan, dua kali kandungan protein daging sapi, asam aminonya tinggi. Sekarang yang paling favorit sosis jangkrik," katanya.[DET]