Upaya Kampung Adat Keputihan Cirebon Bertahan di Tengah Laju Zaman
BERBAGAI tetumbuhan tumbuh subur di kebun-kebun warga. Jadi semacam pagar antarrumah yang rata-rata jaraknya berjauhan.
Ke-17 rumah yang ada juga berbentuk sama. Persegi panjang yang memanjang ke belakang. Dengan tembok yang tidak terbuat dari batu bata berlapis semen, jendela minus kaca, dan atap yang tak memakai genting, beton, atau metal.
Memasuki Kampung Adat Keputihan memang seolah memasuki mesin waktu. Saking kontrasnya perbedaan dengan lanskap warga kampung lain yang secara administratif sama-sama masuk wilayah Kertasari. Desa Kertasari berada di Kecamatan Weru, sekitar 3,5 kilometer dari ibu kota Kabupaten Cirebon di Sumber. Dan 7 kilometer dari pusat Kota Cirebon.
”Sejak saya lahir, saya tahunya ya kayak gini,” ujar Suwena, salah seorang warga kampung yang luasnya sekitar 3–4 hektare itu, dalam bahasa Cirebonan kepada Jawa Pos.
Tidak ada yang tahu pasti kapan aturan adat soal rumah tersebut mulai diterapkan. Tapi, berdasar cerita turun-temurun, tradisi itu dirawat sebagai salah satu upaya untuk menjaga kerukunan.
Warga di kampung yang dihuni sekitar 25 kepala keluarga itu percaya, jika semuanya hidup sama-sama sederhana, tidak akan muncul perasaan jahat atau iri satu sama lain. Dan memang selama ini tak pernah ada percekcokan di sana. ”Kalau rumahnya sama, apa yang mau diirikan?” imbuh Suwena, 43, yang ketika ditemui pada awal bulan lalu tengah menganyam jaring bola voli.
Tapi kini, sebagaimana juga kampung-kampung adat lain, tradisi di Kampung Keputihan tersebut menghadapi tantangan besar. Letaknya yang berada di kawasan segi tiga Sumber-Kedawung-Plered sebagai poros perekonomian Kabupaten Cirebon membuat arus pembangunan di kawasan itu sangat pesat.
Kampung Keputihan mulai kehilangan sumber-sumber alami untuk bahan bangunan kediaman mereka. Tebu yang dulu membentang di bagian barat kampung sudah sirna. Berganti dengan perkampungan.
Tak sampai 1 kilometer dari sana, tanah-tanah kavling juga sudah dijual para pengembang. Sementara tumbuhan bambu di kampung sudah tidak selebat 10–20 tahun yang lalu.
Ketua RT 02 Kampung Keputihan Endang Yusuf mengatakan, tantangan perubahan sudah datang sejak awal 2000-an. Saat kondisi di lingkungan sekitar terus berubah menyusul banyaknya pembangunan.
Warga Keputihan, ungkap Endang, sebenarnya tetap mencoba sekuat tenaga melestarikan tradisi. Mereka masih percaya, melanggar tradisi yang diajarkan nenek moyang merupakan tindakan yang tidak dibenarkan. Jika tradisi dilanggar, bisa datang marabahaya bagi anggota keluarga. Bahaya itu bisa berbentuk sakit-sakitan, musibah, hingga meninggal dunia.
Namun, betapa komitmen dan kepercayaan tersebut mendapat tantangan berat dari kanan-kiri. Kesulitan bahan baku material, ujar Endang, berdampak pada tuntutan ekonomi yang tidak sedikit dalam mempertahankan desain rumah.
Sebagai contoh, untuk atap daun tebu saja, warga butuh dana perawatan ratusan ribu rupiah setiap tahun. Jika dikalkulasi bahkan bisa lebih mahal daripada membuat atap dari genting. Begitu pula, lanjut Endang, tembok bambu. Untuk mengganti, butuh jutaan rupiah setiap lima tahun. ”Hitung aja setiap tahun harus ganti (atap). Jadi, warga sini sebenarnya kaya, cuma nggak kelihatan hehehe,” ujarnya berseloroh.
Sukama, warga lainnya, mengungkapkan, untuk mendapatkan daun tebu sebagai atap rumah, dirinya harus mencari ke desa lain yang berjarak sekitar 10 kilometer dari Keputihan. ”Susah nyarinya. Padahal tiap tahun harus ganti dan butuh biaya sekitar Rp 500 ribu untuk memasangnya,” ungkap dia.
Kompromi-kompromi pun akhirnya terpaksa diambil. Rumah Sukama misalnya. Untuk atap, perempuan 60 tahun itu memang masih menggunakan daun tebu. Namun tidak dengan temboknya. Sejak tahun lalu Sukama terpaksa menggunakan bahan GRC sebagai ganti anyaman bambu. ”Kalau tembok bata sih saya tidak berani,” katanya.
Penggunaan GRC itu pun sudah dibicarakan dengan beberapa warga Kampung Keputihan lainnya. Menurut Sukama, cara tersebut diambil sebagai jalan tengah. Tetap melestarikan perintah leluhur untuk tidak membuat tembok bata. Namun, di sisi lain, ada solusi atas sulitnya membuat tembok anyaman.
Suwena pun demikian. Temboknya memang masih berbahan bambu dan berjendela kayu. Tapi tidak dengan atapnya. Meski tetap tidak menggunakan genting, sejak dua tahun terakhir, dia ”nekat” menggunakan asbes.
Alasannya, Suwena kesulitan mencari daun tebu untuk membuat atap. Dia mengaku awalnya takut saat pertama mengubah desain atap. Namun, dia tak punya pilihan lain. ”Jadi, saya nawar dalam hati, semoga buyut (leluhur) memahami,” ucapnya.
Perubahan tak hanya berdampak pada desain rumah. Tapi juga mulai merambah kehidupan sehari-hari. Bahkan, sejak 2015, tiang-tiang listrik memasuki kampung dan arus tegangannya masuk ke rumah-rumah. ”Sebagian besar sudah punya TV,” kata Endang yang berdiam di sana setelah menikah dengan salah seorang warga Kampung Keputihan.
Sebagaimana warga lain, Endang juga tidak mampu berbuat banyak. Zaman tak mungkin sepenuhnya dilawan. Namun, tetap saja, sesekali Endang kerap merasa rindu dengan kondisi Kampung Keputihan dulu. Ketika bambu masih tumbuh dengan lebat. Dan sekitar kampung dikelilingi tebu. ”Dulu di sini rasanya adem sekali,” tuturnya mengenang.[JawaPos]
Ke-17 rumah yang ada juga berbentuk sama. Persegi panjang yang memanjang ke belakang. Dengan tembok yang tidak terbuat dari batu bata berlapis semen, jendela minus kaca, dan atap yang tak memakai genting, beton, atau metal.
Memasuki Kampung Adat Keputihan memang seolah memasuki mesin waktu. Saking kontrasnya perbedaan dengan lanskap warga kampung lain yang secara administratif sama-sama masuk wilayah Kertasari. Desa Kertasari berada di Kecamatan Weru, sekitar 3,5 kilometer dari ibu kota Kabupaten Cirebon di Sumber. Dan 7 kilometer dari pusat Kota Cirebon.
”Sejak saya lahir, saya tahunya ya kayak gini,” ujar Suwena, salah seorang warga kampung yang luasnya sekitar 3–4 hektare itu, dalam bahasa Cirebonan kepada Jawa Pos.
Tidak ada yang tahu pasti kapan aturan adat soal rumah tersebut mulai diterapkan. Tapi, berdasar cerita turun-temurun, tradisi itu dirawat sebagai salah satu upaya untuk menjaga kerukunan.
Warga di kampung yang dihuni sekitar 25 kepala keluarga itu percaya, jika semuanya hidup sama-sama sederhana, tidak akan muncul perasaan jahat atau iri satu sama lain. Dan memang selama ini tak pernah ada percekcokan di sana. ”Kalau rumahnya sama, apa yang mau diirikan?” imbuh Suwena, 43, yang ketika ditemui pada awal bulan lalu tengah menganyam jaring bola voli.
Tapi kini, sebagaimana juga kampung-kampung adat lain, tradisi di Kampung Keputihan tersebut menghadapi tantangan besar. Letaknya yang berada di kawasan segi tiga Sumber-Kedawung-Plered sebagai poros perekonomian Kabupaten Cirebon membuat arus pembangunan di kawasan itu sangat pesat.
Kampung Keputihan mulai kehilangan sumber-sumber alami untuk bahan bangunan kediaman mereka. Tebu yang dulu membentang di bagian barat kampung sudah sirna. Berganti dengan perkampungan.
Tak sampai 1 kilometer dari sana, tanah-tanah kavling juga sudah dijual para pengembang. Sementara tumbuhan bambu di kampung sudah tidak selebat 10–20 tahun yang lalu.
Ketua RT 02 Kampung Keputihan Endang Yusuf mengatakan, tantangan perubahan sudah datang sejak awal 2000-an. Saat kondisi di lingkungan sekitar terus berubah menyusul banyaknya pembangunan.
Warga Keputihan, ungkap Endang, sebenarnya tetap mencoba sekuat tenaga melestarikan tradisi. Mereka masih percaya, melanggar tradisi yang diajarkan nenek moyang merupakan tindakan yang tidak dibenarkan. Jika tradisi dilanggar, bisa datang marabahaya bagi anggota keluarga. Bahaya itu bisa berbentuk sakit-sakitan, musibah, hingga meninggal dunia.
Namun, betapa komitmen dan kepercayaan tersebut mendapat tantangan berat dari kanan-kiri. Kesulitan bahan baku material, ujar Endang, berdampak pada tuntutan ekonomi yang tidak sedikit dalam mempertahankan desain rumah.
Sebagai contoh, untuk atap daun tebu saja, warga butuh dana perawatan ratusan ribu rupiah setiap tahun. Jika dikalkulasi bahkan bisa lebih mahal daripada membuat atap dari genting. Begitu pula, lanjut Endang, tembok bambu. Untuk mengganti, butuh jutaan rupiah setiap lima tahun. ”Hitung aja setiap tahun harus ganti (atap). Jadi, warga sini sebenarnya kaya, cuma nggak kelihatan hehehe,” ujarnya berseloroh.
Sukama, warga lainnya, mengungkapkan, untuk mendapatkan daun tebu sebagai atap rumah, dirinya harus mencari ke desa lain yang berjarak sekitar 10 kilometer dari Keputihan. ”Susah nyarinya. Padahal tiap tahun harus ganti dan butuh biaya sekitar Rp 500 ribu untuk memasangnya,” ungkap dia.
Kompromi-kompromi pun akhirnya terpaksa diambil. Rumah Sukama misalnya. Untuk atap, perempuan 60 tahun itu memang masih menggunakan daun tebu. Namun tidak dengan temboknya. Sejak tahun lalu Sukama terpaksa menggunakan bahan GRC sebagai ganti anyaman bambu. ”Kalau tembok bata sih saya tidak berani,” katanya.
Penggunaan GRC itu pun sudah dibicarakan dengan beberapa warga Kampung Keputihan lainnya. Menurut Sukama, cara tersebut diambil sebagai jalan tengah. Tetap melestarikan perintah leluhur untuk tidak membuat tembok bata. Namun, di sisi lain, ada solusi atas sulitnya membuat tembok anyaman.
Suwena pun demikian. Temboknya memang masih berbahan bambu dan berjendela kayu. Tapi tidak dengan atapnya. Meski tetap tidak menggunakan genting, sejak dua tahun terakhir, dia ”nekat” menggunakan asbes.
Alasannya, Suwena kesulitan mencari daun tebu untuk membuat atap. Dia mengaku awalnya takut saat pertama mengubah desain atap. Namun, dia tak punya pilihan lain. ”Jadi, saya nawar dalam hati, semoga buyut (leluhur) memahami,” ucapnya.
Perubahan tak hanya berdampak pada desain rumah. Tapi juga mulai merambah kehidupan sehari-hari. Bahkan, sejak 2015, tiang-tiang listrik memasuki kampung dan arus tegangannya masuk ke rumah-rumah. ”Sebagian besar sudah punya TV,” kata Endang yang berdiam di sana setelah menikah dengan salah seorang warga Kampung Keputihan.
Sebagaimana warga lain, Endang juga tidak mampu berbuat banyak. Zaman tak mungkin sepenuhnya dilawan. Namun, tetap saja, sesekali Endang kerap merasa rindu dengan kondisi Kampung Keputihan dulu. Ketika bambu masih tumbuh dengan lebat. Dan sekitar kampung dikelilingi tebu. ”Dulu di sini rasanya adem sekali,” tuturnya mengenang.[JawaPos]