Sunjaya Purwadisastra "Kesandung ning Dalan Rata"
PERJALANAN politik Sunjaya Purwadisastra menjadi Bupati Cirebon sebenarnya cukup berliku dan mengalami dinamika tinggi. Kesabaran dan kepercayaan dirinya yang begitu tinggi, harus diakui, menjadi modal utama pria kelahiran Palimanan, Cirebon, 1 Juni 1965 itu untuk meraih sukses.
Karier politiknya pun terbilang cemerlang saat berhasil menggenapkan masa kepemimpinan sebagai Bupati Cirebon untuk dua periode. Pada Pilkada Serentak 2018 baru lalu, Sunjaya Purwadisastra—yang berpasangan dengan Imron Rosyadi—meraih kemenangan.
Sedianya, seturut agenda politik, Sunjaya-Imron akan resmi dilantik pada April 2019 mendatang. Kemenangan dalam pilkada ini bahkan akan menjadikan Sunjaya sebagai orang kuat satu-satunya di tubuh Pemkab Cirebon.
Hal itu berbeda dengan periode 2014-2019 ketika pertama kali dia menjadi bupati. Kala itu, Sunjaya Purwadisastra terpaksa harus bersaing memperebutkan ”tuah politik” dengan sang wakil, Tasiya Soemadi Al Gotas.
Saat berpasangan dengan Gotas, Sunjaya Purwadisastra harus berbagi ”kesaktian” sebagai kepala daerah. Bagaimanapun, di internal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Gotas—yang sudah dua kali menjabat Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) PDIP Kabupaten Cirebon—merupakan seniornya.
Masih di internal PDIP, Gotas jauh lebih mengakar di kalangan kader dan pengurus partai berlogo kepala banteng, baik di tingkat kepengurusan cabang di Cirebon, Jawa Barat, maupun di pusat. Hal lain, Gotas lebih dulu menjadi pimpinan daerah. Soalnya, ketika dipasangkan dengan Sunjaya Purwadisastra sebagai calon wakil bupati, Gotas menjabat Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Cirebon.
Asam garam politik Cirebon, Gotas jauh lebih paham. Berbeda dengan Sunjaya Purwadisastra yang dianggap sebagai pendatang baru. Sebelum resmi masuk PDIP dan dipinang sebagai calon bupati pada tahun 2014, dia justru lebih dikenal sebagai kader partai lain.
Tak menggembirakan
Pengalaman politik Sunjaya Purwadisastra justru berupa catatan yang tidak menggembirakan. Pada Pilkada 2009, nama Sunjaya Purwadisastra mulai muncul dan dikenal masyarakat Cirebon setelah maju sebagai calon bupati dari unsur independen (nonpartai). Ketika itu, dia kalah jauh oleh calon petahana, Dedi Supardi yang berpasangan dengan Ason Sukasa.
Frasa ”putus asa” rupanya tidak ada dalam kamus Sunjaya Purwadisastra . Jiwa tentara, sebagai perwira menengah di lingkungan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD) dengan pangkat letnan kolonel, membuatnya tidak patah arang dan pantang mundur meski sudah didera kekalahan.
Perjalanan waktu kemudian membuktikan bahwa dia ternyata sosok politikus yang tahan banting. Kekalahan pada Pilkada 2009 tak membuatnya jera.
Dengan kesabaran luar biasa, sepanjang periode kedua kepemimpinan Dedi Supardi (2009-2014), Sunjaya Purwadisastra nyaris tak pernah absen melakukan konsolidasi politik. Ia berkeliling ke berbagai pelosok Cirebon dan bersafari ke partai-partai politik untuk memastikan bahwa dirinya akan tetap kembali mencalonkan diri sebagai bupati pada tahun 2014.
Meski melewati jalan yang penuh hambatan, kepercayaan diri yang luar biasa menjadikannya menekuni garis perjuangannya tanpa kenal putus asa ataupun lelah. Bahkan, pada Pilkada 2014, sosok Sunjaya Purwadisastra masih dilirik sebelah mata oleh politisi lain yang ingin mengincar kursi Bupati Cirebon setelah berakhirnya era Dedi Supardi.
Perhatian masyarakat kemudian tertuju pada sosok Sunjaya Purwadisastra . Soalnya, secara mengejutkan, dia menerima rekomendasi sebagai calon bupati dari PDIP, berpasangan dengan Gotas. Pasangan ini mengusung akronim ”Jago Jadi” (Sunjaya Gotas Jadi).
Tiket dari PDIP membuat dia seketika diperhitungkan oleh lawan-lawan politiknya, termasuk Bupati Dedi Supardi yang saat itu mencalonkan sang istri, Heviyana.
Sejak itu, kesuksesan demi kesuksesan diraihnya. Bahkan, ketika menjadi Bupati Cirebon periode pertama tahun 2014-2019, ketika dia harus berebut ”tuah politik” dengan Gotas.
Sejarah membuktikan kemenangannya saat Gotas terjerat kasus korupsi yang kemudian berakhir dengan pemenjaraan setelah melalui drama kabur dan bersembunyi selama berbulan-bulan dari kejaran petugas kejaksaan.
Penahanan Gotas, disusul oleh kemenangan pada Pilkada Serentak 2018 lalu yang makin membuktikan ”kesaktian” Sunjaya Purwadisastra sebagai politikus di Cirebon. Apalagi, setelah penangkapan Gotas, praktis ”tuah politik” sebenarnya terpusat pada diri Sunjaya.
Aktor tunggal
Di Cirebon, Sunjaya Purwadisastra nyaris tidak memiliki rival sepadan. Jika April 2019 mendatang dilantik, dia akan menjalani kekuasaan sebagai Bupati Cirebon tanpa beban. Soalnya, sang wakil, Imron Rosyadi, bukanlah orang partai dan tidak punya akar struktural di mana pun, baik di PDIP maupun di Nahdlatul Ulama (NU) yang hanya sebatas akar kultural.
Boleh jadi, dia akan menjadi aktor tunggal kekuasaan di Cirebon dalam lima tahun mendatang. Oleh karena itu, sejak diumumkan sebagai pemenang dalam pilkada, dia menjalani hari demi hari kekuasaannya dengan sangat ringan.
Tetapi, lagi-lagi, kejutan selalu datang tanpa diduga. Ketika tidak lagi ada hambatan politik yang berarti, dia justru dihadang oleh aral lain: kelemahannya sendiri. Ia terjaring operasi senyap Komisi Pemberantasan Korupsi justru ketika tengah berada dalam puncak kejayaan.
”Kesandung ning dalan rata”, begitu kata orang Cirebon. Ya, Sunjaya justru tersandung lalu terjatuh di jalan rata nan mulus.(Sumber: PikiranRakyat/Agung Nugroho)
Karier politiknya pun terbilang cemerlang saat berhasil menggenapkan masa kepemimpinan sebagai Bupati Cirebon untuk dua periode. Pada Pilkada Serentak 2018 baru lalu, Sunjaya Purwadisastra—yang berpasangan dengan Imron Rosyadi—meraih kemenangan.
Sedianya, seturut agenda politik, Sunjaya-Imron akan resmi dilantik pada April 2019 mendatang. Kemenangan dalam pilkada ini bahkan akan menjadikan Sunjaya sebagai orang kuat satu-satunya di tubuh Pemkab Cirebon.
Hal itu berbeda dengan periode 2014-2019 ketika pertama kali dia menjadi bupati. Kala itu, Sunjaya Purwadisastra terpaksa harus bersaing memperebutkan ”tuah politik” dengan sang wakil, Tasiya Soemadi Al Gotas.
Saat berpasangan dengan Gotas, Sunjaya Purwadisastra harus berbagi ”kesaktian” sebagai kepala daerah. Bagaimanapun, di internal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Gotas—yang sudah dua kali menjabat Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) PDIP Kabupaten Cirebon—merupakan seniornya.
Masih di internal PDIP, Gotas jauh lebih mengakar di kalangan kader dan pengurus partai berlogo kepala banteng, baik di tingkat kepengurusan cabang di Cirebon, Jawa Barat, maupun di pusat. Hal lain, Gotas lebih dulu menjadi pimpinan daerah. Soalnya, ketika dipasangkan dengan Sunjaya Purwadisastra sebagai calon wakil bupati, Gotas menjabat Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Cirebon.
Asam garam politik Cirebon, Gotas jauh lebih paham. Berbeda dengan Sunjaya Purwadisastra yang dianggap sebagai pendatang baru. Sebelum resmi masuk PDIP dan dipinang sebagai calon bupati pada tahun 2014, dia justru lebih dikenal sebagai kader partai lain.
Tak menggembirakan
Pengalaman politik Sunjaya Purwadisastra justru berupa catatan yang tidak menggembirakan. Pada Pilkada 2009, nama Sunjaya Purwadisastra mulai muncul dan dikenal masyarakat Cirebon setelah maju sebagai calon bupati dari unsur independen (nonpartai). Ketika itu, dia kalah jauh oleh calon petahana, Dedi Supardi yang berpasangan dengan Ason Sukasa.
Frasa ”putus asa” rupanya tidak ada dalam kamus Sunjaya Purwadisastra . Jiwa tentara, sebagai perwira menengah di lingkungan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD) dengan pangkat letnan kolonel, membuatnya tidak patah arang dan pantang mundur meski sudah didera kekalahan.
Perjalanan waktu kemudian membuktikan bahwa dia ternyata sosok politikus yang tahan banting. Kekalahan pada Pilkada 2009 tak membuatnya jera.
Dengan kesabaran luar biasa, sepanjang periode kedua kepemimpinan Dedi Supardi (2009-2014), Sunjaya Purwadisastra nyaris tak pernah absen melakukan konsolidasi politik. Ia berkeliling ke berbagai pelosok Cirebon dan bersafari ke partai-partai politik untuk memastikan bahwa dirinya akan tetap kembali mencalonkan diri sebagai bupati pada tahun 2014.
Meski melewati jalan yang penuh hambatan, kepercayaan diri yang luar biasa menjadikannya menekuni garis perjuangannya tanpa kenal putus asa ataupun lelah. Bahkan, pada Pilkada 2014, sosok Sunjaya Purwadisastra masih dilirik sebelah mata oleh politisi lain yang ingin mengincar kursi Bupati Cirebon setelah berakhirnya era Dedi Supardi.
Perhatian masyarakat kemudian tertuju pada sosok Sunjaya Purwadisastra . Soalnya, secara mengejutkan, dia menerima rekomendasi sebagai calon bupati dari PDIP, berpasangan dengan Gotas. Pasangan ini mengusung akronim ”Jago Jadi” (Sunjaya Gotas Jadi).
Tiket dari PDIP membuat dia seketika diperhitungkan oleh lawan-lawan politiknya, termasuk Bupati Dedi Supardi yang saat itu mencalonkan sang istri, Heviyana.
Sejak itu, kesuksesan demi kesuksesan diraihnya. Bahkan, ketika menjadi Bupati Cirebon periode pertama tahun 2014-2019, ketika dia harus berebut ”tuah politik” dengan Gotas.
Sejarah membuktikan kemenangannya saat Gotas terjerat kasus korupsi yang kemudian berakhir dengan pemenjaraan setelah melalui drama kabur dan bersembunyi selama berbulan-bulan dari kejaran petugas kejaksaan.
Penahanan Gotas, disusul oleh kemenangan pada Pilkada Serentak 2018 lalu yang makin membuktikan ”kesaktian” Sunjaya Purwadisastra sebagai politikus di Cirebon. Apalagi, setelah penangkapan Gotas, praktis ”tuah politik” sebenarnya terpusat pada diri Sunjaya.
Aktor tunggal
Di Cirebon, Sunjaya Purwadisastra nyaris tidak memiliki rival sepadan. Jika April 2019 mendatang dilantik, dia akan menjalani kekuasaan sebagai Bupati Cirebon tanpa beban. Soalnya, sang wakil, Imron Rosyadi, bukanlah orang partai dan tidak punya akar struktural di mana pun, baik di PDIP maupun di Nahdlatul Ulama (NU) yang hanya sebatas akar kultural.
Boleh jadi, dia akan menjadi aktor tunggal kekuasaan di Cirebon dalam lima tahun mendatang. Oleh karena itu, sejak diumumkan sebagai pemenang dalam pilkada, dia menjalani hari demi hari kekuasaannya dengan sangat ringan.
Tetapi, lagi-lagi, kejutan selalu datang tanpa diduga. Ketika tidak lagi ada hambatan politik yang berarti, dia justru dihadang oleh aral lain: kelemahannya sendiri. Ia terjaring operasi senyap Komisi Pemberantasan Korupsi justru ketika tengah berada dalam puncak kejayaan.
”Kesandung ning dalan rata”, begitu kata orang Cirebon. Ya, Sunjaya justru tersandung lalu terjatuh di jalan rata nan mulus.(Sumber: PikiranRakyat/Agung Nugroho)