Cerita Batu Penolak Bala di Komplek Makam Sunan Gunung Jati Cirebon


Cirebon - Sebagian besar peninggalan tradisi dan budaya masyarakat Cirebon masih lestari. Bahkan sudah mengakar hingga menjadi cerita rakyat.

Seperti yang ada di Kecamatan Gunung Jati Kabupaten Cirebon. Sebuah batu berselimut kain putih terletak di tepi Jalan Raya Sunan Gunung Jati Kecamatan Gunung Jati Kabupaten Cirebon.

Warga sekitar berkerumum duduk disekitar Batu Tameng Cirebon. Tidak sedikit warga mengharap berkah dari setiap kendaraan yang lewat.

"Usia batu tersebut sudah ratusan tahun dan tak pernah berpindah lokasi," kata Filolog Cirebon Raffan Safari Hasyim, Selasa (9/10/2018).

Dia menuturkan, Batu Tameng sebagai penanda perbatasan wilayah antara Pesantren Giri Amparan Jati dengan Pesantren Sembung pada tahun 1440. Pesantren tersebut didirikan pada era Sunan Gunung Jati.

Sementara Pesantren Giri Amparan Jati didirikan oleh Syekh Nurjati tahun 1420. Batu Tameng menjadi penanda dua pesantren tersebut.

"Sekarang kedua pesantren berubah menjadi komplek makam Sunan Gunung Jati," kata dia.

Pria yang akrab disapa Opan itu menyebutkan, sosok penjaga perbatasan dua pesantren tersebut, bernama Ki Gede Watu Tameng.

"Selama pesantren itu berdiri penjaga perbatasan atau Batu Tameng selalu ada," ujar dia.

Tolak Bala

Masyarakat Cirebon meyakini keberadaan Batu Tameng di Gunung Jati sebagai media penolak bala atau sial. Foto (Liputan6.com / Panji Prayitno)
Keberadaan batu tameng tidak hanya menjadi bagian dari catatan sejarah Cirebon. Masyarakat meyakini batu tameng sebagai media penolak bala.

"Kalau saya meyakini batu tameng itu bukan nama orang tapi jabatan seseorang," kata Opan.

Tidak sedikit pengunjung maupun peziarah melemparkan uang ke arah batu tameng. Sejumlah pengendara juga menyempatkan diri melempar uang ke batu tameng jika melewati kawasan Gunung Jati.

Opan menjelaskan tradisi lempar uang ke sebuah batu itu sudah dilakukan sejak lama. Bahkan, tidak sedikit warga setempat sengaja menunggu di tepi jalan sekitar batu tameng agar mendapat lemparan uang dari pengendara.

"Banyak apalagi sore hari warga duduk di tepi jalan persis di depan kawasan batu tameng," kata Opan.

Opan menjelaskan tradisi tersebut merupakan salah satu bentuk sedekah warga atau pengunjung. Tujuan utamanya untuk mendapat berkah dan dijauhkan dari malapetaka.

"Sesuai dengan ajaran Islam, sedekah itu kan bisa menolak bala. Intinya sedekah, bukan hal-hal lain," ujar Opan.
Sumber: (Liputan6)

Subscribe to receive free email updates: